Masa darurat pandemi Covid-19 membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hingga bulan kelima ini, tahun ajaran 2020/2021 dimulai 13 Juli 2020, kegiatan tatap muka masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Untuk menyambut tahun ajaran baru ini Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun mengadakan kegiatan dalam format daring yakni dengan menggelar webinar Guru Belajar.
Salah satu tema yang diusung pada webinar pekan kedua ini adalah “Melibatkan Remaja dalam Keadaan Darurat Bencana dan Wabah Penyakit”. Webinar yang diselenggarakan pada Kamis (9/7/2020) menghadirkan dua narasumber yaitu Febryanthie Apituley dari UNICEF Indonesia dan Ferina Futboe dari Lingkar Remaja. Diskusi daring ini dimoderatori oleh Maimun Rizal.
Pada kesempatan ini Febryanthie Apituley mengatakan, Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi bencana alam seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, dan lain-lain. Hal ini disebabkan letak geografis Indoensia. Maka itu remaja Indonesia harus siap dalam menghadapi bencana ini. “30 juta anak muda Indonesia tinggal di daerah rawan bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, dan lain-lain,” ujarnya.
Sementara itu di saat pandemi Covid-19 anak remaja juga terdampak. Dia menjelaskan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF ditemukan lebih dari 10 persen anak muda yakni antara 15 sampai 24 tahun mengalami masalah kesehatan mental sejak adanya wabah pandemi ini.
Soal masalah belajar di situasi pandemi ini juga berdampak. Sebab proses belajar mereka selama wabah ini tidak berjalan lancar dan banyak kendala yang dihadapi. “Dampak Covid-19 cukup dirasakan oleh remaja. Misalnya karena dipaksa harus belajar dari rumah dan tidak hadir ke sekolah adanya kemungkinan pendidikan yang terputus. Kesenjangan digital juga terjadi, sebab sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kendala terhadap akses internet atau penggunaan smartphone sehingga kualitas belajarnya bisa jadi sangat terkendala,” jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa UNICEF Indonesia terus mendukung upaya-upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terutama mendukung dalam ranah kesiapsiagaan kebencanaan dan respons terhadap bencana. Salah satu metodologi yang digunakan untuk menjangkau para remaja pada saat kebencanaan atau pandemi ini salah satunya dengan Adolescent Kit for Expression and Inovation atau Kit remaja untuk ekspresi dan inovasi.
“Ini merupakan seperangkat alat, kegiatan dan persediaan yang dikembangkan berdasarkan human center desain untuk diimplementasikan dengan remaja-remaja terutama pada situasi krisis tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan sejak dirilis pada tahun 2017 lalu, kit tool ini sudah menjangkau sebanyak 160.000 remaja di 16 negara termasuk di Indonesia. “Untuk merespons pandemi ini sebenarnya tool kit sudah diadaptasi di bagian-bagian tertentu untuk konteks pembatasan mobilitas, agar kegiatan tool kit mudah diakses oleh remaja di Indonesia,” ujarnya.